Senin, 24 Januari 2011

Opini pribadi dan tidak perlu dipermasalahkan

Jangan Pernah melihat suatu permasalahan dari satu sisi, perlu adanya kroscek dari sisi lain agar informasi yang didapat bisa berimbang, atau dalam bahasa jurnalisnya disebut “Cover Both Side”.
Terkadang, ketika mendengar keluh kesah seseorang pastinya kita akan mendapati peran protagonist dalam cerita tersebut diperankan oleh si pencerita, Sementara pemeran antagonisnya pastinya adalah lawan dari si pencerita. Sayangnya, cerita yang kita dengar belum tentu bersifat objektif dan berdasarkan fakta yang ada, dalam arti mungkin saja si pencerita sedang kesal atau marah terhadap perlakuan si “antagonis” sehingga cerita yang keluar terkesan memojokkan si “antagonis” tersebut.
Sebagai contoh, saya punya pengalaman pribadi yang konteksnya menurut saya sangat pas dengan tema yang saya angkat kali ini. Suatu ketika nilai UTS diumumkan di kelas, namun saya mendapati nilai saya sangat buruk dan yang lebih menyakitkan lagi bahwa teman saya yang mendapat jawaban dari saya justru mendapatkan nilai yang lebih baik dari saya. Berangkat dari kekecewaan itulah saya selalu berfikir bahwa dosen saya ini tidak objektif dalam memberikan nilai, serta mengkambing hitamkan persepsinya bahwa wanita selalu lebih baik dalam hal nilai dibandingkan para pria. Jadi sayapun selalu berlindung dibalik argument saya bahwa nilai yang saya dapatkan bukanlah nilai objektif, jawaban itulah yang selalu saya gunakan apabila ditanya teman. Akan tetapi, ketika saya cek dan saya tanyakan ke beberapa teman tentang hasil UTS tersebut, saya mendapatkan fakta baru yakni nilai saya buruk dikarenakan score pada bagian teori kecil, lantaran saya terlalu fokus pada soal hitungan yang pada akhirnya kolom teori saya abaikan. Alih-alih ingin mendapat nilai lebih, malah mendapatkan nilai kecil karena mengabaikan point teori pada soal.
Dari pengalaman saya ini bisa diketahui, bahwa ketika kenyataan berkata lain dengan harapan dan perkiraan kita sebelumnya, acapkali kita selalu memposisikan diri pada posisi yang benar, dari sini egoisme mulai memainkan perannya. Jadi jangan heran dalam cerita diatas saya selalu menyalahkan dosen saya yang saya anggap tidak objekif pada saat itu. Namun, perlu ditekankan bahwa itu terjadi karena kekecewaan saya pribadi terhadap nilai yang saya dapat dan karena tidak ingin menyalahkan diri sendiri lantas saya salahkan dosen saya, yang akhirnya seiring berjalannya waktu saya mendapati suatu fakta yang membuka pandangan saya bahwa selama ini saya bersikap salah dalam menyikapi persoalan nilai ini.
Pelajaran yang didapat? Ada beberapa point, yakni:
  • Jangan pernah membuat keputusan/ mengeluarkan pernyataan dikala sedang kecewa ataupun marah kerana publik, karena orang yang sedang marah bagai manusia tanpa kepala. Jadi sekecewa apapun kita, mesti dipikirkan secara jernih dahulu sehingga kita bisa melihat suatu persoalan dari sudut pandang yang objektif, dan tidak men-judge orang lain terlebih dahulu lantaran bisa menimbulkan penilaian negative terhadap orang yang bersangkutan oleh halayak ramai. Tentunya kita tidak mau melihat orang lain begitu dibenci hanya karena kita merasa orang tersebut merugikan kita lalu dia pantas dipandang sebagai orang yang salah oleh publik bukan?
  • Jangan pernah menjadikan satu informasi yang di dapat hanya dari satu orang saja sebagai acuan, karena dikhawatirkan cerita yang kita terima bukanlah cerita yang objektif. Perlu adanya kroscek serta mencari informasi tambahan dari sudut pandang lain sehingga informasi yang kita terima bisa utuh dan berimbang.
  • Pahami dulu permasalahan yang terjadi, sehingga kita tidak ikut menyeret-nyeret persoalan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan permasalahan yang sebenarnya, yang pastinya akan membuat penyelidikan kita terhadap suatu masalah menjadi tidak fokus dan melebar.